Semakin hari bermacam penyakit bermunculan. Penyakit degeneratif yang dulunya jarang, bahkan tidak pernah ditemui di masa lampau, kini semakin banyak diderita oleh masyarakat. Berbagai macam cara ditempuh agar orang yang sakit dapat sembuh kembali seperti sedia kala. Mulai dari terapi medis hingga pengobatan alternatif yang tidak sesuai dengan syari’at dan tidak masuk akal seperti terapi batu Ponari di atas.
Faktor ekonomi, tingkat pendidikan yang rendah, dan ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan pemerintah dituding sebagai akar permasalahan mengapa banyak orang datang ke praktek pengobatan alternatif. Nenek moyang bangsa Indonesia dahulu mempercayai bahwa alam seperti batu, pohon, laut, dan sebagainya memiliki ruh yang dapat mempengaruhi nasib manusia. Kepercayaan tersebut tidak serta merta hilang dari hati masyarakat masa sekarang, meski mereka tidak lagi menyatakan diri sebagai penyembah pohon atau batu. Sebagaimana dalam kasus di atas, sebagian masyarakat masih mempercayai bahwa batu Ponari memiliki kekuatan yang mampu menyembuhkan berbagai penyakit meski mereka menyatakan bahwa batu tersebut hanya digunakan sebagai perantara untuk mencapai kesembuhan. Adapun kesembuhan yang mereka harapkan datangnya dari Allah semata.
Tinjauan Syari’at
Seorang yang sakit diperbolehkan untuk berobat agar sembuh dari penyakitnya. Setiap muslim seharusnya meyakini bahwa Allah-lah yang menurunkan penyakit dan Dia pula yang menurunkan obatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Allah tidak menurunkan penyakit melainkan pasti menurunkan obatnya.” (HR.t Al-Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Dalam hadits yang lain beliau bersabda,
“Setiap penyakit ada obatnya, jika suatu obat itu tepat (manjur) untuk suatu penyakit, maka penyakit itu akan sembuh dengan izin Allah ‘Azza wa Jalla.” (HR. Muslim dari Jabir radhiyallahu ‘anhu)
Dalam usaha untuk mencari sarana kesembuhan, seorang muslim seharusnya memperhatikan hal-hal berikut:
1. Bahwa obat dan dokter hanya sebagai sarana penyembuhan, sedangkan yang benar-benar menyembuhkan adalah Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, mengisahkan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam,
“Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku.” (Qs. Asy Syu’araa’: 80)
“Jika Allah menimpakan suatu bencana kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagimu, maka tidak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Yunus: 107)
“Dan jika Allah menimpakan suatu bencana kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu.” (Qs. Al An’aam: 17)
2. Ikhtiar (usaha) dalam mencari obat tersebut tidak boleh dilakukan dengan cara-cara yang haram dan syirik.
Yang haram ini seperti berobat dengan menggunakan obat yang terlarang atau barang-barang yang haram karena Allah tidak menjadikan penyembuhan dari barang yang haram.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan obatnya, maka berobatlah dan janganlah berobat dengan (obat) yang haram.” (HR. Ad-Daulabi dalam Al Kuna, dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Al Ahaadits Ash Shahiihah no. 1633)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan (dari penyakit) kalian pada hal-hal yang haram.” (hadits riwayat Abu Ya’la VI/104 no..6930, Majma’uz Zawaa-id V/86 dan Ibnu Hibban (no. 1397-Mawaarid), lihat Shahiih Mawaaridizh Zham-aan no. 1172, dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, hasan lighairihi)
Dan tidak boleh juga berobat dengan hal-hal yang syirik dan haram, seperti; pengobatan alternatif dengan cara mendatangi dukun, tukang sihir, paranormal, “orang pintar”, menggunakan jin, pengobatan dengan jarak jauh, atau sebagainya yang tidak sesuai dengan syariat, sehingga dapat mengakibatkan jatuh dalam syirik dan dosa besar yang paling besar. Orang yang mendatangi dukun atau orang pintar tidak akan diterima shalatnya selama 40 hari.
Rasullulah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang datang kepada dukun/orang pintar/tukang ramal, lalu menanyakan kepadanya tentang sesuatu, maka tidak akan diterima shalatnya selama 40 malam.” (HR. Muslim no.2230 (125), Ahmad IV/68, V/380 dari seorang istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)
“Barangsiapa yang mendatangi orang pintar/tukang ramal atau dukun lalu ia membenarkan apa yang diucapkanny, maka sungguh ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Ahmad II/408, 429,476, al Hakim I/8 Shahiih al-Jaami’ish SShaghiir no.5939 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, shahih).
Apabila seseorang terkena sihir, guna-guna, santet, kesurupan jin dan lainnya atau penyakit menahun yang tak kunjung sembuh, maka tidak boleh sekali-kali bagi seorang muslim atau muslimah mendatangi dukun, tukang sihir atau paranormal, karena datang kepada mereka adalah dosa besar. Dan tidak boleh pula bertanya kepada mereka tentang penyakit maupun hal-hal yang ghaib karena tidak ada yang tahu perkara yang ghaib melainkan hanya Allah saja, bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tidak tahu perkara yang ghaib.
Allah Ta’ala berfirman,
“Katakanlah, ‘Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.’ Katakanlah: ‘Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat?’ Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)?” (Qs. Al An’aam: 50).
Allah Ta’ala berfirman,
“Katakanlah, ‘Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman”. (Qs.Al A’raaf: 188)
Dalam pengambilan sebab atau cara untuk mendapatkan kesembuhan haruslah memenuhi tiga syarat berikut agar tidak terjatuh dalam kesyirikan:
- Sebab yang diambil harus terbukti secara syar’i maupun qodari.
Secara syar’i maksudnya terdapat dalil dalam Al Qur’an dan hadits yang menyebutkan bahwa sebab tersebut dapat digunakan sebagai sarana penyembuhan. Misalnya : membacakan ayat-ayat Al Qur’an sebagai terapi penyembuhan orang yang kerasukan jin, madu sebagai sarana pengobatan sakit demam, dan lain sebagainya.Adapun secara qodari adalah sudah menjadi sunnatullah, atau pengalaman, atau terbukti melalui penelitian ilmiah bahwa sebab tersebut dapat digunakan sebagai terapi penyembuhan. Contohnya adalah penggunaan obat-obatan kimiawi untuk mencegah atau mengobati penyakit tertentu. Pengambilan sebab secara qodari ini dapat dibagi menjadi dua jenis hukum: halal dan haram. Yang pertama adalah sebab yang halal misalnya parasetamol dan kompres air hangat untuk meredakan demam. Adapun sebab yang haram misalnya penggunaan enzim pankreas babi dan cangkok organ babi untuk pengobatan pada manusia.Seseorang yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, sementara Allah Ta’ala tidak menetapkannya sebagai sebab, baik syar’i maupun qodari, berarti dia telah menjadikan dirinya sekutu bagi Allah dalam hukum terhadap sesuatu (Syaikh Muhamad bin Shalih Al Utsaimin, Syarah Kitab Tauhid Jilid I). - Hati tetap bersandar pada Allah Ta’ala, bukan pada sebab.
Maksudnya, ketika mengambil sebab, hatinya senantiasa bertawakkal dan memohon pertolongan pada Allah Ta’ala demi berpengaruhnya sebab tersebut. Hatinya tidak condong kepada sebab tersebut sampai-sampai merasa tenang kepada sebab, bukan kepada Allah. Apabila seseorang merasa pasti akan berhasil tatkala telah memperhitungkan segala sesuatunya, maka ada padanya indikasi bahwa hatinya telah bersandar kepada sebab, bukan kepada Allah Ta’ala. Hal tersebut juga dapat diindikasikan ada pada diri orang yang sangat kecewa berat atas sebuah kegagalan padahal orang itu merasa telah mengambil atau mengerjakan sebab dengan sebaik-baiknya. - Harus tetap memiliki keyakinan bahwa berpengaruh atau tidaknya sebuah sebab hanya Allah Ta’ala yang mentakdirkannya, betapapun keampuhan sebab tersebut. Artinya, jika Allah Ta’ala menghendaki untuk berpengaruh, maka akan dapat memberikan pengaruh sejalan dengan sunnatullah. Akan tetapi, jika Allah Ta’ala menghendakinya untuk tidak berpengaruh, maka tidak akan memberikan pengaruh apapun. Contohnya : api besar sunnatullahnya akan mampu membakar siapa saja. Namun tatkala Allah Ta’ala menghendaki lain, maka api tersebut menjadi dingin sebagaimana dalam kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.
Wallahu Al Muwaffiq (Dan Allah-lah Yang Maha Pemberi Taufik).
Sumber :
Doa dan Wirid Mengobati Guna-Guna dan Sihir Menurut Al Qur’an dan As Sunnah (cet. VII), Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas
Mutiara Faidah Kitab Tauhid, Abu ‘Isa ‘Abdullah bin Salam
Syarah Kitab Tauhid: Al Qaulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid Jilid 1 [Terj.], (Syaikh Muhamad bin Shalih Al Utsaimin), Darul Falah
0 comments:
Posting Komentar