Sabtu, 25 Juni 2011

Dukamu Dukaku.. Lukamu Lukaku.. Al-Aqsha.. Palestina..



READ MORE - Dukamu Dukaku.. Lukamu Lukaku.. Al-Aqsha.. Palestina..

Gaza Krisis Obat dan Empat Perempuan Muslimah Ditelanjangi dan Dihinakan..

Menteri Kesehatan Hamas Bassem Naem hari Sabtu (11/6) mengatakan bahwa Gaza mengalami kekurangan obat dan peralatan medis yang sangat parah. Krisis yang sekarang belum pernah terjadi sebelumnya sejak serangan besar Zionis-Israel atas Gaza pada akhir 2008. Menurut Naem situasinya semakin buruk dari hari ke hari.
Dalam konferensi pers si Rumah Sakit Asy-Syifa di Gaza City Naem menjelaskan, sebanyak 180 jenis obat dan 200 peralatan medis termasuk alkohol dan jarum habis di Gaza.
Akibat kehabisan stok obat dan alat medis, sebelumnya pada hari Rabu pemerintah mengumumkan keadaan darurat.
Pada hari Jum’at Naem mengumumkan pembatalan atas sejumlah operasi bagi banyak pasien, termasuk anak-anak. Pemerintah juga terpaksa mengurangi pelayanan jasa medis seperti pemeriksaan laboratorium.
Sebuah rumah sakit mata hari Sabtu melaporkan bahwa mereka harus membatalkan 12 operasi, karena dokter kekurangan obat dan peralatan.
Di Rumah Sakit An-Nasser sebelah selatan Gaza, 142 pasien pasrah tidak mendapatkan obat karena persediaan habis.
Sumber di Kementerian Kesehatan di Gaza mengatakan bahwa pejabat Ototritas Palestina Nabil Shaath telah berjanji akan mengirimkan suplai medis dari Ramallah ke Gaza, namun hingga kini kiriman itu belum ada yang sampai.* [Hidayatullah]



Empat Perempuan Muslimah Ditelanjangi dan Dihinakan


Empat perempuan Palestina yang ditawan di penjara Zionis HaSharon ditelanjangi dan dihinakan dalam sebuah penggeledahan. PIC mengutip pernyataan Ahrar Prisoner Studies Center kemarin dari Tepi Barat bahwa 10 perempuan petugas penjara dan lima lelaki petugas penjara yang melakukan penggeledahan bersama sejumlah intel dan direktur Ruang 2 – tempat keempat perempuan Palestina itu ditawan.
Penggeledahan dilakukan untuk mencari sebuah handphone yang kabarnya diselundupkan ke dalam penjara oleh salah seorang perempuan itu.
Keempat perempuan itu dipisahkan, lalu ditelanjangi dengan cara yang sangat merendahkan dan “bertentangan dengan etika dan moral.”
Sesudah ditelanjangi dan digeledah, keempat perempuan itu hanya diizinkan menutup aurat mereka dengan mukena, lalu dibawa ke “ruang hukuman” sementara sel mereka digeledah.
Penggeledahan berlangsung selama enam jam. Sementara itu, keempat wanita itu tidak diizinkan shalat, makan, minum atau ke kamar kecil.
Nama keempat wanita itu dirahasiakan karena alasan keamanan, demikian pernyataan ketua Ahrar Center Fuad Al-Khuffash.* [Hidayatullah]
READ MORE - Gaza Krisis Obat dan Empat Perempuan Muslimah Ditelanjangi dan Dihinakan..

Keprihatinan.. Krisis Akhlakul Karimah Dalam Berdakwah..

Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi akhlakul karimah, bahkan ada sabda Nabi yang sangat terkenal dan telah dihapal oleh semuanya bahwasanya Beliau Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam diutus oleh Allah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.


Tapi realita yang ada berbicara lain. Justeru para pengemban agama adalah merupakan yang paling sering melanggar sabda Nabi tersebut dengan menghujat, menfitnah dan menjatuhkan siapa saja yang dianggap diluar golongannya dengan cara-cara yang tidak ilmiyah dan terkesan memprovokasi ummat.


Salah satu contohnya adalah apa yang terjadi saat ini, yaitu sebuah masjid besar dengan radionya yang notabene milik pemerintah kota dan bukan milik kelompok tertentu tapi terlanjur dikuasai kelompok tertentu yang semestinya berdakwah dengan memberikan kesejukan dan kedamaian untuk ummat ternyata malah dijadikan corong kelompok tertentu untuk menyebarkan fitnah dan memecah belah ummat.


Berbeda pendapat itu biasa dan wajar asalkan tetap dalam koridor yang masih bisa ditolerir [Ahlus Sunnah Wal Jama’ah] dan disampaikan dengan cara ilmiyyah, dewasa serta mengedepankan akhlakul karimah. Jangan marah dan emosi apalagi sampai menuduh dengan tuduhan keji dan terkesan membuat fitnah.


Kami meyakini bahwa perbedaan pendapat itu ada dan kami ketika membicarakan permasalahan yang terjadi perbedaan pendapat di dalamnya selalu dengan cara-cara ilmiyyah, dewasa dan mengedepankan akhlakul karimah serta menghindari kata-kata kasar, menghujat dan memprovokasi. Realita telah membuktikan hal ini dan semua rekaman masih tersimpan dengan baik.


Bukan berarti menyampaikan perbedaan itu tidak boleh. Silahkan saja menyampaikan perbedaan, hanya saja caranya yang ilmiyyah, bijak dan arif.


Kami ingin agar supaya ummat ini tidak hanya mendengar satu pendapat saja, akan tetapi mereka juga tahu pendapat yang lain sebagai tambahan ilmu dan pertimbangan. Bukankah di dalam agama Islam kita diwajibkan mencari ilmu sebanyak-banyaknya agar supaya beribadah kepada Allah dengan benar dan baik karena berdasarkan ilmu dan bukan hanya ikut-ikutan saja apalagi sampai fanatik buta.


Sekarang ini sudah saatnya bagi ummat Islam untuk lebih terbuka lagi dalam mencari ilmu agama tanpa fanatik kepada golongan atau guru tertentu karena ummat sudah semakin dewasa dan sarana informasi telah berkembang pesat sehingga tidak ada alasan lagi bagi ummat Islam untuk mengatakan “tidak tahu”, akan tetapi yang lebih tepat adalah “tidak mau tahu”.


Karena itulah, melalui tulisan yang singkat ini kami ingin menyampaikan suara hati kami yang merupakan keprihatinan kami terhadap realita yang ada. Kami berharap kedepan nanti kita [terutama para ustadz, kiayi dan tokoh-tokoh agama] lebih waspada dalam menyikapi perbedaan pendapat dengan mengedepankan akhlakul karimah, kejujuran, kedewasaan dan sikap arif serta bijaksana.


Sekali lagi, perbedaan itu ada, tinggal bagaimana kita menyikapinya. Seseorang tidak mungkin bisa memaksa orang lain untuk mengikutinya apalagi sesuatu yang berkaitan dengan keyakinan. Keyakinan itu tidak bisa dipaksakan.


Kami menyarankan kepada semua pihak untuk lebih waspada lagi dalam mengutarakan perbedaan pendapat dan ketika membantah pihak lain. Sebelum membantah sebuah pendapat, tulisan atau sebuah ceramah hendaklah disimak dulu isi pendapat, tulisan atau ceramah yang akan dibantah dengan seksama, teliti dan jeli dari awal sampai akhir sehingga memahami permasalahannya dengan pasti.


Jangan sekali-kali membantah sebuah pendapat, tulisan atau ceramah hanya karena mendapat informasi dari orang lain, karena ini adalah sumber fitnah yang sebenarnya. Seseorang ketika menyampaikan informasi kepada orang lain tentang sebuah ceramah, tulisan atau pendapat itu biasanya tidak terlepas dari ditambahi, dikurangi, dipelintir dan dipolitisir atau tidak lengkap dan tidak obyektif lagi, apalagi jika si penyampai menyampaikannya dengan emosional dan antipati tentu lebih runyam.


Inti dari semua ini adalah keikhlasan. Ikhlas dalam menjelaskan suatu permasalahan dengan niat supaya ummat beribadah kepada Allah dengan benar dan baik sesuai tuntunan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam dan para Sahabat Beliau Radhiyallahu ‘Anhum. Berdakwah mengajak manusia kepada Allah dan RasulNya agar selamat di dunia dan di akhirat. Bukan mengajak manusia kepada dirinya, kelompoknya, golongannya atau kepentingannya. Allah Maha Tahu niat kita semua.


Mari belajar ikhlas dan berlapangdada dalam menyikapi perbedaan pendapat [selama masih dalam koridor Ahlus Sunnah Wal Jama’ah], saling menghormati, menghindari menfitnah dan memprovokasi karena kita semua adalah bersaudara dan semoga kita semua pada akhirnya sama-sama masuk surga, Jannatul Firdaus, amiin ya Mujiibas saa’iliin…
READ MORE - Keprihatinan.. Krisis Akhlakul Karimah Dalam Berdakwah..

Aku Dan PresidenKu

presidenAku adalah segelintir hamba Allah yang ditaqdirkan hidup di bumi Indonesia. Sedangkan SBY adalah presiden dan pemimpinku. Dan yang aku ketahui beliau adalah sorang muslim dan aku belum pernah melihat beliau melakukan tindakan kekufuran yang nyata. Kewajibanku, sebagai anak bangsa adalah selalu mentaati perintahnya selama perintah itu tidak melanggar syari’at Tuhanku.Allah Yang Maha Mulia berfirman :
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan taatilah ulil amri diantara kalian”.
Ayat ini adalah sangat jelas bahwasannya Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya serta mentaati Ulil Amri.
Diterangkan oleh Ibnu Katsir di dalam kitab tafsirnya, bahwa makna ulil amri adalah ‘Ulama dan ‘Umara. Ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah ketaatan mutlaq. Sedangkan ketaatan kepada pemrintah adalah ketaatan yang tidak mutlaq. Artinya, selama perintah itu tidak bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya maka kita wajib mentaatinya.
Nabi kita juga telah bersabda dalam hadits dari Irbath bin Suriyah radhiyallahu ‘anhu :
“Dengar dan taatilah! Walaupun yang memerintah kalian adalah seorang budak”.
Sebagai seorang muslim, mestinya berbaik sangka kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak mungkin Allah dan Rasul-Nya memerintahkan hamba-Nya agar hamba-Nya itu celaka. Itu sangat tidak mungkin. Karena hal itu bertentangan dengan sifat Rahmat Allah dan juga bertentangan dengan sifat Rasul-Nya yang sangat menginginkan kebaikan kepada umatnya.
Para pembaca yang budiman.
Tapi aku sangat sedih. Era reformasi telah merubah wajah umat Islam di negeriku ini. Sehingga era reformasi diartikulasikan sebagai kebebasan dalam berfikir, kebebasan dalam berpendapat tanpa ada batasnya. Yang mestinya itu tidak boleh terjadi pada insan yang beradab.
Mimbar-mimbar jum’at yang semestinya dijadikan saran untuk menasehati umat, menyeru kaum muslimin agar selalu beriman dan bertaqwa kepada Allah, telah berubah menjadi ajang untuk menguliti dan menelanjangi aib-aib penguasa. Sumpah serapah, caci makian dan kata-kata kotor lainnya tanpa ada rasa adab santun sedikitpun.
Wallahi !(Demi Allah..!)
Perbuatan semacam ini tidak ada manfaatnya sedikitpun baik bagi para penguasa ataupun rakyatnya. Justru yang akan terjadi adalah semakin dendamlah penguasa dengan rakyatnya. Dan rakyat akan semakin benci dan murka kepada pemerintahnya. Ya Allah … ampunilah kami.
Saudara-saudaraku seaqidah yang saya hormati. Kita tidak memungkiri banyak terjadi kesalahan dan kekurangan pada para penguasa. Akan tetapi, kesalahan penguasa itu bukan berarti kita boleh untuk keluar dari ketaatan dalam perkara yang ma’ruf.
Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda : “Dengar dan taatlah sekalipun hartamu diambil dan punggungmu dipukul”
Hadits ini memberikan pengertian kalaupun sampai sampai terjadi penguasa itu merampas harta kita dan memukul punggung kita, maka kita tetap wajib mentaati dalam perkara yang ma’ruf. Sedangkan hak-hak kita yang dirampas oleh penguasa maka kita minta kepada Allah balasannya.
Jadi, penguasa itu wajib di taati dalam bingkai ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Barang siapa taat kepada penguasa, maka dia telah taat kepadaku dan barang siapa yang durhaka kepada penguasa berarti dia telah durhaka kepadaku”.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda :
“Barang siapa taat kepadaku, berarti dia telah mentaati Allah dan barang siapa yang durhaka kepadaku berarti dia telah durhaka kepada Allah dan barang siapa yang taat kepada pemimpin berarti dia telah taat kepadaku dan barang siapa yang durhaka kepada pemimpin berarti dia telah durhaka kepadaku”. [HR. Bukhari-Muslim]
Dengan demikian, menjadi jelaslah. Bahwa kesalahan penguasa itu bukan berarti kita boleh kudeta, (termasuk demonstrasi -ed), dan keluar dari ketaatan. Dari Auf  bin Malik radhiyallahu ‘anhu dia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Ketahuilah! Bahwa barang siapa yang dipimpin oleh seorang penguasa lalu dia melihat penguasa tersebut melakukan perbuatan maksiat, maka hendaklah dia membenci perbuatan maksiat tersebut dan tidak melepaskan ketaatan kepadanya”.
Para pembaca yang budiman …
Mungkin masih ada yang belum puas dengan hadits-hadits di atas sebagai hujjah untuk taat kepada penguasa walaupun ada kedhaliman pada penguasa tersebut.
Baiklah … sekarang bandingkan.
Lebih dhalim mana antara penguasa kita SBY dengan Hajjats bin Yusuf. Barang kali, semua telah tau bagaimana kejam dan kedhalimannya. Sekian banyak kaum muslimin bahkan para ‘ulama yang mati ditangan Hajjats ini. Sampai-sampai seorang tabi’in yang bernama Zubair bin ‘Adi beliau mendatangi Anas bin Malik –sisa shahabat yang masih hidup pada masa itu-. Zubair bin ‘Adi mengeluhkan kejamnya penguasa Hajjats bin Yusuf. Maka Anas berkata kepadanya :
Kata Anas bin Malik ; “Bersabarlah kalian karena sesungguhnya tidaklah datang kepada kalian suatu zaman melainkan setelahnya lebih buruk dari sebelumnya hingga kalian menemui Rabbmu (meninggal dunia). Aku telah mendengarnya dari Nabi kalian shallallahu’alaihi wa sallam”. [HR. Bukhari]
Lihatlah perkataan shahabat yang mulia ini. Dengan kedalaman dan keluasan ilmunya Anas radhiyallahu ‘anhu tidak gegabah dalam menentukan suatu keputusan hukum. Karena beliau memiliki pandangan jauh ke depan. Serta pengetahuan beliau terhadap realita yang dialami umat manusia. Kalau seandainya Anas radhiyallahu ‘anhu perintahkan kepada Zubair bin ‘Adi untuk memberontak mungkin akan terjadi kerusakan yang lebih besar dan korbannya akan semakin banyak berjatuhan.
Sekarang, bandingkan dengan SBY. Pernahkah harta kita diambil olehnya??? Pernahkah punggung kita dipukul olehnya??? Pernahkah beliau membantai kaum muslimin??? Pernahkah beliau membunuh para ‘Ulama??.
Kalau seandainya kita jawab belum pernah. Maka alasan apa yang menghalangi kita untuk taat kepadanya???
Pembaca yang budiman, demikianlah. Semoga risalah ini bermanfaat.
READ MORE - Aku Dan PresidenKu

Ancaman Bagi Pelaku Riba'

ribaPara pembaca, tidaklah Allah melarang dari sesuatu kecuali karena adanya dampak buruk dan akibat yang tidak baik bagi pelaku. Seperti Allah melarang dari praktek riba, karena berakibat buruk bagi pelakunya, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Para pembaca, artikel ini akan mengupas tentang dampak buruk dari praktek riba yang masih banyak kaum muslimin bergelut dengan praktek riba tersebut.
Riba dengan segala bentuknya adalah haram dan merupakan dosa besar yang akan membinasakan pelakunya di dunia dan akhirat. Dengan tegas Allah subhanahu wa ta’ala menyatakan (artinya):
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Siapa yang mengulangi (mengambil riba), maka mereka itu adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” [Al-Baqarah: 275]
Ketika menafsirkan ayat di atas, Asy-Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menerangkan:
“Allah mengabarkan tentang orang-orang yang makan dari hasil riba, jeleknya akibat yang mereka rasakan, dan kesulitan yang akan mereka hadapi kelak di kemudian hari. Tidaklah mereka bangkit dari kuburnya pada hari mereka dibangkitkan melainkan seperti orang yang kemasukan setan karena tekanan penyakit gila. Mereka bangkit dari kuburnya dalam keadaan bingung, sempoyongan, dan mengalami kegoncangan, serta khawatir dan cemas akan datangnya siksaan yang besar dan kesulitan sebagai akibat dari perbuatan mereka itu.” [Taisirul Karimir Rahman, hal. 117]
Dengan rahmat dan kasih sayang-Nya, Allah subhanahu wa ta’ala melarang kita dari perbuatan yang merupakan kebiasaan orang-orang Yahudi tersebut. Dengan sebab kebiasaan  memakan riba itulah, Allah subhanahu wa ta’ala sediakan adzab yang pedih bagi mereka.
“Dan disebabkan mereka (orang-orang Yahudi) memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil, Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” [An-Nisa’: 161]
Allah subhanahu wa ta’ala Maha Mengetahui, bahwa praktek riba dengan segala bentuk dan warnanya justru akan berdampak buruk bagi perekonomian setiap pribadi, rumah tangga, masyarakat, dan bahkan perekonomian suatu negara bisa hancur porak-poranda disebabkan praktek ribawi yang dilestarikan keberadaannya itu. Riba tidak akan bisa mendatangkan barakah samasekali. Bahkan sebaliknya, akan menjadi sebab menimpanya berbagai musibah. Apabila ia berinfak dengan harta hasil riba, maka ia tidak akan mendapat pahala, bahkan sebaliknya hanya akan menjadi bekal menuju neraka.
Mungkin ada yang bertanya, mengapa perekonomian di negara-negara barat sangat maju, rakyatnya makmur, dan segala kebutuhan hidup tercukupi, padahal praktek riba tumbuh subur di negara-negara tersebut?
Keadaan seperti ini janganlah membuat kaum muslimin tertipu. Allah subhanahu wa ta’ala Dzat yang tidak akan mengingkari janji-Nya telah berfirman (artinya):
“Allah memusnahkan riba dan menumbuh-kembangkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa.” [Al-Baqarah: 276]
Makna dari ayat tersebut adalah bahwa Allah subhanahu wa ta’ala akan memusnahkan riba, baik dengan menghilangkan seluruh harta riba dari tangan pemiliknya, atau dengan menghilangkan barakah harta tersebut sehingga pemiliknya itu tidak akan bisa mengambil manfaat darinya. Bahkan, Allah subhanahu wa ta’ala akan menghukumnya dengan sebab riba tersebut di dunia maupun di akhirat. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir]
Jadi, walaupun harta yang dihasilkan dari praktek riba ini kelihatannya semakin bertambah dan bertambah, namun pada hakikatnya kosong dari barakah dan pada akhirnya akan sedikit. Bahkan, bisa habis samasekali.
Dari sini, benarlah apa yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
مَا أَحَدٌ أَكْثَرَ مِنَ الرِّبَا إِلاَّ كَانَ عَاقِبَةُ أَمْرِهِ إِلَى قِلَّةٍ
“Tidak ada seorang pun yang banyak melakukan praktek riba kecuali akhir dari urusannya adalah hartanya menjadi sedikit.” [HR. Ibnu Majah, dari shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Ibnu Majah]
Siapa yang akan bisa selamat kalau Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam sudah mengumumkan peperangan kepadanya?
Disebutkan oleh sebagian ahli tafsir bahwa peperangan dari Allah subhanahu wa ta’ala adalah berupa adzab yang akan ditimpakan-Nya, sedangkan peperangan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah dengan pedang. [Lihat Tafsir Al-Baghawi]
Seorang mufassir (ahli tafsir) yang lain, yaitu Al-Imam Al-Mawardi rahimahullah menyatakan bahwa ayat (yang artinya): “maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian” [Al-Baqarah: 279] bisa mengandung dua pengertian:
Pertama, bahwa jika kalian tidak menghentikan perbuatan riba, maka Aku (Allah) akan memerintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk memerangi kalian.
Kedua, bahwa jika kalian tidak menghentikan perbuatan riba, maka kalian termasuk orang-orang yang diperangi oleh Allah dan Rasul-Nya, yakni sebagai musuh bagi keduanya. [Lihat An-Nukat wal ‘Uyun]
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah pada Tafsir-nya tentang ayat ke-279 dari surat Al-Baqarah di atas menyatakan:
“Ayat ini merupakan ancaman yang sangat keras bagi siapa saja yang masih melakukan praktek riba setelah datangnya peringatan (dari perbuatan tersebut).”
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Barangsiapa yang senantiasa melakukan praktek riba dan dia enggan untuk meninggalkannya, maka seorang imam (pemimpin) kaum muslimin berhak memerintahkannya untuk bertaubat, jika dia mau meninggalkan praktek riba (bertaubat darinya), maka itu yang diharapkan, namun jika dia tetap enggan, maka hukumannya adalah dipenggal lehernya.” [Lihat Tafsir Ibnu Katsir]
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan:
“Ancaman seperti ini tidak diberikan kepada pelaku dosa besar kecuali pelaku riba, orang yang membuat kekacauan di jalan, dan orang yang membuat kerusakan di muka bumi.” [Lihat Thariqul Hijratain, hal. 558]
Lebih parah lagi kondisinya jika praktek riba itu sudah menyebar di suatu negeri, dan bahkan masyarakatnya sudah menganggap hal itu merupakan sesuatu yang lumrah. Maka ketahuilah bahwa keadaan seperti ini akan mengundang murka dan adzab Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا وَالرِّبَا فِي قَرْيَةٍ فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ
“Jika telah nampak perbuatan zina dan riba di suatu negeri, maka sungguh mereka telah menghalalkan diri mereka sendiri untuk merasakan adzab Allah.” [HR. Al-Hakim dan Ath-Thabarani, dari shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas c, dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani rahimahullah di dalam Shahihul Jami’]
Maka dari itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam -dengan penuh belas kasih kepada umatnya- benar-benar telah memperingatkan umatnya dari praktek riba yang bisa menyebabkan kebinasaan, sebagaimana dalam sabdanya:
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوْبِقَاتِ. قُلْنَا: وَمَا هُنَّ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: الشِّرْكُ بِاللهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّباَ، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيْمِ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلاَتِ الْمُؤْمِنَاتِ
“Jauhilah oleh kalian tujuh hal yang menyebabkan kebinasaan.” Kami (para shahabat) bertanya: “Apa tujuh hal itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “…memakan (mengambil) riba…” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
Ancaman bagi yang ikut andil dalam praktek riba
Selain pemakan riba, dalam sebuah hadits juga disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga mencela beberapa pihak yang turut terlibat dalam muamalah yang tidak barakah tersebut. Shahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu mengatakan:
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ، وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat orang yang memakan riba, memberi makan riba (orang yang memberi riba kepada pihak yang mengambil riba), juru tulisnya, dan dua saksinya. Beliau mengatakan: ‘Mereka itu sama’.” [HR. Muslim]
Mereka semua terkenai ancaman laknat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena dengan itu mereka telah berta’awun (tolong menolong dan saling bekerjasama) dalam menjalankan dosa dan kemaksiatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya):
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” [Al-Maidah: 2]
Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَعَنَ اللَّهُ آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَكَاتِبَهُ
“Allah melaknat pemakan riba, pemberi makan riba (orang yang memberi riba kepada pihak yang mengambil riba), dua saksinya, dan juru tulisnya.” [HR. Ahmad, dari shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani rahimahullah, lihat Shahihul Jami’]
Dua hadits di atas menunjukkan ancaman bagi semua pihak yang bekerjasama melakukan praktek ribawi, yaitu akan mendapatkan laknat dari Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, yang berarti dia mendapatkan celaan dan akan terjauhkan dari rahmat Allah subhanahu wa ta’ala.
Para pembaca, cukuplah hadits berikut sebagai peringatan bagi kita semua dari bahaya dan akibat yang akan dialami oleh pelaku riba di akhirat nanti.
Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari, dari shahabat Samurah bin Jundub t, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
رَأَيْتُ اللَّيْلَةَ رَجُلَيْنِ أَتَيَانِي فَأَخْرَجَانِي إِلَى أَرْضٍ مُقَدَّسَةٍ فَانْطَلَقْنَا حَتَّى أَتَيْنَا عَلَى نَهَرٍ مِنْ دَمٍ فِيهِ رَجُلٌ قَائِمٌ وَعَلَى وَسَطِ النَّهَرِ رَجُلٌ بَيْنَ يَدَيْهِ حِجَارَةٌ فَأَقْبَلَ الرَّجُلُ الَّذِي فِي النَّهَرِ فَإِذَا أَرَادَ الرَّجُلُ أَنْ يَخْرُجَ رَمَى الرَّجُلُ بِحَجَرٍ فِي فِيهِ فَرَدَّهُ حَيْثُ كَانَ فَجَعَلَ كُلَّمَا جَاءَ لِيَخْرُجَ رَمَى فِي فِيهِ بِحَجَرٍ فَيَرْجِعُ كَمَا كَانَ فَقُلْتُ مَا هَذَا ؟ فَقَالَ: الَّذِي رَأَيْتَهُ فِي النَّهَرِ آكِلُ الرِّبَا
“Tadi malam aku melihat (bermimpi) ada dua orang laki-laki mendatangiku. Lalu keduanya mengajakku keluar menuju tanah yang disucikan. Kemudian kami berangkat hingga tiba di sungai darah. Di dalamnya ada seorang lelaki yang sedang berdiri, dan di bagian tengah sungai tersebut ada seorang lelaki yang di tangannya terdapat batu-batuan. Kemudian beranjaklah lelaki yang berada di dalam sungai tersebut. Setiap kali lelaki itu hendak keluar dari dalam sungai, lelaki yang berada di bagian tengah sungai tersebut melemparnya dengan batu pada bagian mulutnya sehingga si lelaki itu pun tertolak kembali ke tempatnya semula. Setiap kali ia hendak keluar, ia dilempari dengan batu pada mulutnya hingga kembali pada posisi semula. Aku (Rasulullah) pun bertanya: ‘Siapa orang ini (ada apa dengannya)?’ Dikatakan kepada beliau: ‘Orang yang engkau lihat di sungai darah tersebut adalah pemakan riba’.” [HR. Al-Bukhari]
Mudah-mudahan Allah subhanahu wa ta’ala menjauhkan kita dari perbuatan riba dan seluruh amalan yang bisa mendatangkan kemurkaan-Nya.
READ MORE - Ancaman Bagi Pelaku Riba'

Mendo'akan Orang Lain Secra Diam-Diam

doa_copyAllah Ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ جَاؤُوا مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإِيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلاًّ لِّلَّذِينَ آمَنُو
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Hasyr: 10)
Allah Ta’ala berfirman tentang doa Ibrahim -alaihishshalatu wassalam-:
رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَابُ
“Wahai Rabb kami, beri ampunilah aku dan kedua ibu bapaku dan semua orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat).” (QS. Ibrahim: 41)
Allah Ta’ala juga berfirman tentang Nuh -alaihishshalatu wassalam- bahwa beliau berdoa:
رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِمَن دَخَلَ بَيْتِيَ مُؤْمِنًا وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ

“Wahai Rabbku! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke dalam rumahku dalam keadaan beriman, dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan.” (QS. Nuh: 28)
Dan juga tentang Nabi Muhammad -alaihishshalatu wassalam- dimana beliau diperintahkan dengan ayat:
وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
“Dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan.” (QS. Muhammad: 19)
Dari Abu Ad-Darda’  dia berkata: Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يَدْعُو لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ إِلَّا قَالَ الْمَلَكُ وَلَكَ بِمِثْلٍ
“Tidak ada seorang muslim pun yang mendoakan kebaikan bagi saudaranya (sesama muslim) tanpa sepengetahuannya, melainkan malaikat akan berkata, “Dan bagimu juga kebaikan yang sama.” (HR. Muslim no. 4912)
Dalam riwayat lain dengan lafazh:
دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لِأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ
“Doa seorang muslim untuk saudaranya (sesama muslim) tanpa diketahui olehnya adalah doa mustajabah. Di atas kepalanya (orang yang berdoa) ada malaikat yang telah diutus. Sehingga setiap kali dia mendoakan kebaikan untuk saudaranya, maka malaikat yang diutus tersebut akan mengucapkan, “Amin dan kamu juga akan mendapatkan seperti itu.”

Penjelasan ringkas:
Mendoakan sesama muslim tanpa sepengatahuan orangnya termasuk dari sunnah hasanah yang telah diamalkan turun-temurun oleh para Nabi -alaihimushshalatu wassalam- dan juga orang-orang saleh yang mengikuti mereka. Mereka senang kalau kaum muslimin mendapatkan kebaikan, sehingga merekapun mendoakan saudaranya di dalam doa mereka tatkala mereka mendoakan diri mereka sendiri. Dan ini di antara sebab terbesar tersebarnya kasih sayang dan kecintaan di antara kaum muslimin, serta menunjukkan kesempuraan iman mereka. Nabi -alaihishshalatu wassalam- bersabda, “Tidak beriman salah seorang di antara kalian sampai dia mencintai untuk saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik)
Karenanya Allah dan Rasul-Nya memotifasi kaum muslimin untuk senantiasa mendoakan saudaranya, sampai-sampai Allah Ta’ala mengutus malaikat yang khusus bertugas untuk meng’amin’kan setiap doa seorang muslim untuk saudaranya dan sebagai balasannya malaikat itupun diperintahkan oleh Allah untuk mendoakan orang yang berdoa tersebut. Berhubung doa malaikat adalah mustajabah, maka kita bisa menyatakan bahwa mendoakan sesama muslim tanpa sepengetahuannya termasuk dari doa-doa mustajabah. Karenanya jika dia mendoakan untuk saudaranya -dan tentu saja doa yang sama akan kembali kepadanya- maka potensi dikabulkannya akan lebih besar dibandingkan dia mendoakan untuk dirinya sendiri.
Hanya saja satu batasan yang disebutkan dalam hadits -agar malaikat meng’amin’kan- adalah saudara kita itu tidak mengetahui kalau kita sedang mendoakan kebaikan untuknya. Jika dia mengetahui bahwa dirinya didoakan maka lahiriah hadits menunjukkan malaikat tidak meng’amin’kan, walaupun tetap saja orang yang berdoa mendapatkan keutamaan karena telah mendoakan saudaranya. Hanya saja kita mendoakannya tanpa sepengetahuannya lebih menjaga keikhlasan dan lebih berpengaruh dalam kasih sayang dan kecintaan.
Sebagai tambahan adab-adab berdoa dari dalil-dalil di atas:
  1. Jika dia mendoakan orang lain maka hendaknya dia mulai dengan mendoakan dirinya sendiri. Dari Ubay bin Ka’ab -radhiallahu anhu- dia berkata, “Jika Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- menyebut seseorang lalu mendoakannya, maka beliau mulai dengan mendoakan diri beliau sendiri.” (HR. At-Tirmizi: 5/463) Hanya saja juga telah shahih riwayat bahwa beliau -shallallahu alaihi wasallam- tidak memulai dengan diri beliau sendiri, seperti pada doa beliau untuk Anas, Ibnu Abbas, dan ibunya Abu Hurairah -radhiallahu anhum-. (Lihat Syarh An-Nawawi terhadap Shahih Muslim: 15/144, Fath Al-Bari: 1/218, dan Tuhfah Al-Ahwadzi Syarh Sunan At-Tirmizi: 9/328)
  2. Dia mendoakan kedua orang tuanya ketika dia berdoa untuk dirinya sendiri. Allah Ta’ala berfirman, “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (QS. Al-Isra`: 24)
  3. Mendoakan kaum mukminin dan mukminat tatkala mendoakan dirinya sendiri. Allah Ta’ala berfirman, “Dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan.” (QS. Muhammad: 19)
READ MORE - Mendo'akan Orang Lain Secra Diam-Diam

Hikmah Atas Lapang Dan SempitnyaRezeki

Sabtu, 11 Juni 2011 22:36
lapangRisalah berikut akan sedikit berbicara tentang masalah rizki. Nasehat ini pun tidak perlu jauh-jauh ditujukan pada orang lain. Sebenarnya yang lebih pantas adalah nasehat ini ditujukan pada diri kami sendiri supaya selalu bisa ridho dengan takdir ilahi dalam hal rizki.
Ayat yang patut direnungkan adalah firman Allah Ta’ala,

فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ (15) وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ -16

“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu Dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, Maka Dia akan berkata: ” Tuhanku telah memuliakanku “. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya Maka Dia berkata: ” Tuhanku menghinakanku “. (QS. Al Fajr: 15-16)
Penjelasan Para Ulama
Ath Thobari rahimahullah menjelaskan, “Adapun manusia ketika ia diuji oleh Rabbnya dengan diberi nikmat dan kekayaan, yaitu dimuliakan dengan harta dan kemuliaan serta diberi nikmat yang melimpah, ia pun katakan, “Allah benar-benar telah memuliakanku.” Ia pun bergembira dan senang, lantas ia katakan, “Rabbku telah memuliakanku dengan karunia ini.”[1]
Kemudian Ath Thobari rahimahullah menjelaskan, “Adapun manusia jika ia ditimpa musibah oleh Rabbnya dengan disempitkan rizki, yaitu rizkinya tidak begitu banyak, maka ia pun katakan bahwa Rabbnya telah menghinakan atau merendahkannya. Sehingga ia pun tidak bersyukur atas karunia yang Allah berikan berupa keselamatan anggota badan dan rizki berupa nikmat sehat pada jasadnya.”[2]
Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat di atas, “Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala mengingkari orang yang keliru dalam memahami maksud Allah meluaskan rizki. Allah sebenarnya menjadikan hal itu sebagai ujian. Namun dia menyangka dengan luasnya rizki tersebut, itu berarti Allah memuliakannya. Sungguh tidak demikian, sebenarnya itu hanyalah ujian. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

أَيَحْسَبُونَ أَنَّمَا نُمِدُّهُمْ بِهِ مِنْ مَالٍ وَبَنِينَ نُسَارِعُ لَهُمْ فِي الْخَيْرَاتِ بَل لا يَشْعُرُونَ

“Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.” (QS. Al Mu’minun: 55-56)
Sebaliknya, jika Allah menyempitkan rizki, ia merasa bahwa Allah menghinangkannya. Sebenarnya tidaklah sebagaimana yang ia sangka. Tidaklah seperti itu sama sekali. Allah memberi rizki itu bisa jadi pada orang yang Dia cintai atau pada yang tidak Dia cintai. Begitu pula Allah menyempitkan rizki pada pada orang yang Dia cintai atau pun tidak. Sebenarnya yang jadi patokan ketika seseorang dilapangkan dan disempitkan rizki adalah dilihat dari ketaatannya pada Allah dalam dua keadaan tersebut. Jika ia adalah seorang yang berkecukupan, lantas ia bersyukur pada Allah dengan nikmat tersebut, maka inilah yang benar. Begitu pula ketika ia serba kekurangan, ia pun bersabar.”[3]
Antara Mukmin dan Kafir
Sifat yang disebutkan dalam surat ini (Al Fajr ayat 15-16) adalah sifat orang kafir. Maka sudah patut untuk dijauhi oleh seorang muslim.
Al Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Sifat yang disebutkan dalam (Al Fajr ayat 15-16) adalah sifat orang kafir yang tidak beriman pada hari berbangkit. Sesungguhnya kemuliaan yang dianggap orang kafir adalah dilihat pada banyak atau sedikitnya harta. Sedangkan orang mukmin, kemuliaan menurutnya adalah dilihat pada ketaatan pada Allah dan bagaimana ia menggunakan segala nikmat untuk tujuan akhirat. Jika Allah memberi rizki baginya di dunia, ia pun memuji Allah dan bersyukur pada-Nya.”[4]
Syukuri dan Bersabar
Pahamilah! Tidak perlu merasa iri hati dengan rizki orang lain. Kita dilapangkan rizki, itu adalah ujian. Kita disempitkan rizki, itu pula ujian. Dilapangkan rizki agar kita diuji apakah termasuk orang yang bersyukur atau tidak. Disempitkan rizki agar kita diuji termasuk orang yang bersabar ataukah tidak. Maka tergantung kita dalam menyikapi rizki yang Allah berikan. Tidak perlu bersedih jika memang kita tidak ditakdirkan mendapatkan rizki sebagaimana saudara kita. Allah tentu saja mengetahui manakah yang terbaik bagi hamba-Nya. Cobalah pula kita perhatikan bahwa rizki dan nikmat bukanlah pada harta saja. Kesehatan badan, nikmat waktu senggang, bahkan yang terbesar dari itu yaitu nikmat hidayah Islam dan Iman, itu pun termasuk nikmat yang patut disyukuri. Semoga bisa jadi renungan berharga.
Ya Allah, karuniakanlah pada kami sebagai orang yang pandai besyukur dan bersabar pada-Mu dalam segala keadaan, susah maupun senang.
Sungguh nikmat diberikan taufik untuk merenungkan Al Qur’an. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

[1] Tafsir Ath Thobari, Ibnu Jarir Ath Thobari, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, 1420 H, 24/412
[2] Idem.
[3] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, Muassasah Qurthubah, 14/347
[4] Al Jaami’ li Ahkamil Qur’an, Al Qurthubi, Tahqiq: Dr. ‘Abdullah bin Al Hasan At Turki, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, 1427 H, 22/.
READ MORE - Hikmah Atas Lapang Dan SempitnyaRezeki