Sabtu, 25 Juni 2011

Aku Dan PresidenKu

presidenAku adalah segelintir hamba Allah yang ditaqdirkan hidup di bumi Indonesia. Sedangkan SBY adalah presiden dan pemimpinku. Dan yang aku ketahui beliau adalah sorang muslim dan aku belum pernah melihat beliau melakukan tindakan kekufuran yang nyata. Kewajibanku, sebagai anak bangsa adalah selalu mentaati perintahnya selama perintah itu tidak melanggar syari’at Tuhanku.Allah Yang Maha Mulia berfirman :
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan taatilah ulil amri diantara kalian”.
Ayat ini adalah sangat jelas bahwasannya Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya serta mentaati Ulil Amri.
Diterangkan oleh Ibnu Katsir di dalam kitab tafsirnya, bahwa makna ulil amri adalah ‘Ulama dan ‘Umara. Ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah ketaatan mutlaq. Sedangkan ketaatan kepada pemrintah adalah ketaatan yang tidak mutlaq. Artinya, selama perintah itu tidak bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya maka kita wajib mentaatinya.
Nabi kita juga telah bersabda dalam hadits dari Irbath bin Suriyah radhiyallahu ‘anhu :
“Dengar dan taatilah! Walaupun yang memerintah kalian adalah seorang budak”.
Sebagai seorang muslim, mestinya berbaik sangka kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak mungkin Allah dan Rasul-Nya memerintahkan hamba-Nya agar hamba-Nya itu celaka. Itu sangat tidak mungkin. Karena hal itu bertentangan dengan sifat Rahmat Allah dan juga bertentangan dengan sifat Rasul-Nya yang sangat menginginkan kebaikan kepada umatnya.
Para pembaca yang budiman.
Tapi aku sangat sedih. Era reformasi telah merubah wajah umat Islam di negeriku ini. Sehingga era reformasi diartikulasikan sebagai kebebasan dalam berfikir, kebebasan dalam berpendapat tanpa ada batasnya. Yang mestinya itu tidak boleh terjadi pada insan yang beradab.
Mimbar-mimbar jum’at yang semestinya dijadikan saran untuk menasehati umat, menyeru kaum muslimin agar selalu beriman dan bertaqwa kepada Allah, telah berubah menjadi ajang untuk menguliti dan menelanjangi aib-aib penguasa. Sumpah serapah, caci makian dan kata-kata kotor lainnya tanpa ada rasa adab santun sedikitpun.
Wallahi !(Demi Allah..!)
Perbuatan semacam ini tidak ada manfaatnya sedikitpun baik bagi para penguasa ataupun rakyatnya. Justru yang akan terjadi adalah semakin dendamlah penguasa dengan rakyatnya. Dan rakyat akan semakin benci dan murka kepada pemerintahnya. Ya Allah … ampunilah kami.
Saudara-saudaraku seaqidah yang saya hormati. Kita tidak memungkiri banyak terjadi kesalahan dan kekurangan pada para penguasa. Akan tetapi, kesalahan penguasa itu bukan berarti kita boleh untuk keluar dari ketaatan dalam perkara yang ma’ruf.
Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda : “Dengar dan taatlah sekalipun hartamu diambil dan punggungmu dipukul”
Hadits ini memberikan pengertian kalaupun sampai sampai terjadi penguasa itu merampas harta kita dan memukul punggung kita, maka kita tetap wajib mentaati dalam perkara yang ma’ruf. Sedangkan hak-hak kita yang dirampas oleh penguasa maka kita minta kepada Allah balasannya.
Jadi, penguasa itu wajib di taati dalam bingkai ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Barang siapa taat kepada penguasa, maka dia telah taat kepadaku dan barang siapa yang durhaka kepada penguasa berarti dia telah durhaka kepadaku”.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda :
“Barang siapa taat kepadaku, berarti dia telah mentaati Allah dan barang siapa yang durhaka kepadaku berarti dia telah durhaka kepada Allah dan barang siapa yang taat kepada pemimpin berarti dia telah taat kepadaku dan barang siapa yang durhaka kepada pemimpin berarti dia telah durhaka kepadaku”. [HR. Bukhari-Muslim]
Dengan demikian, menjadi jelaslah. Bahwa kesalahan penguasa itu bukan berarti kita boleh kudeta, (termasuk demonstrasi -ed), dan keluar dari ketaatan. Dari Auf  bin Malik radhiyallahu ‘anhu dia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Ketahuilah! Bahwa barang siapa yang dipimpin oleh seorang penguasa lalu dia melihat penguasa tersebut melakukan perbuatan maksiat, maka hendaklah dia membenci perbuatan maksiat tersebut dan tidak melepaskan ketaatan kepadanya”.
Para pembaca yang budiman …
Mungkin masih ada yang belum puas dengan hadits-hadits di atas sebagai hujjah untuk taat kepada penguasa walaupun ada kedhaliman pada penguasa tersebut.
Baiklah … sekarang bandingkan.
Lebih dhalim mana antara penguasa kita SBY dengan Hajjats bin Yusuf. Barang kali, semua telah tau bagaimana kejam dan kedhalimannya. Sekian banyak kaum muslimin bahkan para ‘ulama yang mati ditangan Hajjats ini. Sampai-sampai seorang tabi’in yang bernama Zubair bin ‘Adi beliau mendatangi Anas bin Malik –sisa shahabat yang masih hidup pada masa itu-. Zubair bin ‘Adi mengeluhkan kejamnya penguasa Hajjats bin Yusuf. Maka Anas berkata kepadanya :
Kata Anas bin Malik ; “Bersabarlah kalian karena sesungguhnya tidaklah datang kepada kalian suatu zaman melainkan setelahnya lebih buruk dari sebelumnya hingga kalian menemui Rabbmu (meninggal dunia). Aku telah mendengarnya dari Nabi kalian shallallahu’alaihi wa sallam”. [HR. Bukhari]
Lihatlah perkataan shahabat yang mulia ini. Dengan kedalaman dan keluasan ilmunya Anas radhiyallahu ‘anhu tidak gegabah dalam menentukan suatu keputusan hukum. Karena beliau memiliki pandangan jauh ke depan. Serta pengetahuan beliau terhadap realita yang dialami umat manusia. Kalau seandainya Anas radhiyallahu ‘anhu perintahkan kepada Zubair bin ‘Adi untuk memberontak mungkin akan terjadi kerusakan yang lebih besar dan korbannya akan semakin banyak berjatuhan.
Sekarang, bandingkan dengan SBY. Pernahkah harta kita diambil olehnya??? Pernahkah punggung kita dipukul olehnya??? Pernahkah beliau membantai kaum muslimin??? Pernahkah beliau membunuh para ‘Ulama??.
Kalau seandainya kita jawab belum pernah. Maka alasan apa yang menghalangi kita untuk taat kepadanya???
Pembaca yang budiman, demikianlah. Semoga risalah ini bermanfaat.

0 comments: