Sebagai hamba Allah, dalam kehidupan di dunia manusia tidak akan  luput dari berbagai cobaan, baik kesusahan maupun kesenangan, sebagai  sunnatullah yang berlaku bagi setiap insan, yang beriman maupun kafir.  Allah Ta’ala berfirman,
“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai  cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu  dikembalikan.” (Qs Al Anbiya’: 35)
Ibnu Katsir –semoga Allah Ta’ala  merahmatinya– berkata, “Makna ayat ini yaitu: Kami menguji kamu (wahai  manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar  Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa  yang bersabar dan siapa yang beputus asa.” (Tafsir Ibnu Katsir, 5/342, Cet Daru Thayyibah)
Kebahagiaan hidup dengan bertakwa kepada Allah
Allah Ta’ala dengan ilmu-Nya yang Maha Tinggi dan Hikmah-Nya yang  Maha Sempurna menurunkan syariat-Nya kepada manusia untuk kebaikan dan  kemaslahatan hidup mereka. Oleh karena itu, hanya dengan berpegang teguh  kepada agama-Nyalah seseorang bisa merasakan kebahagiaan hidup yang  hakiki di dunia dan akhirat. Allah Ta’ala berfirman,
“Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan  Rasul-Nya yang mengajak kamu kepada suatu yang memberi (kemaslahatan)  hidup bagimu.” (Qs al-Anfaal: 24)
Ibnul Qayyim -semoga Allah Ta’ala merahmatinya- berkata, “Ayat ini  menunjukkan bahwa kehidupan yang bermanfaat hanyalah didapatkan dengan  memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Maka barangsiapa yang tidak memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya, maka  dia tidak akan merasakan kehidupan (yang baik). Meskipun dia memiliki  kehidupan (seperti) hewan yang juga dimiliki oleh binatang yang paling  hina (sekalipun). Maka kehidupan baik yang hakiki adalah kehidupan  seorang yang memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya secara lahir maupun  batin.” (Kitab Al Fawa-id, hal. 121, Cet. Muassasatu Ummil Qura’)
Inilah yang ditegaskan oleh Allah Ta’ala dalam banyak ayat al-Qur’an, di antaranya firman-Nya,
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun  perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan  kepadanya kehidupan yang baik (di dunia), dan sesungguhnya akan Kami  berikan balasan kepada mereka (di akhirat) dengan pahala yang lebih baik  dari apa yang telah mereka kerjakan.” (Qs  ?An Nahl: 97)
Dalam ayat lain, Allah Ta’ala berfirman,
“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Rabbmu dan bertaubat  kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan  memberi kenikmatan yang baik kepadamu (di dunia) sampai kepada waktu  yang telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang  mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya (di akhirat nanti)” (Qs Huud: 3)
Dalam mengomentari ayat-ayat di atas, Ibnul Qayyim mengatakan, “Dalam  ayat-ayat ini Allah Ta’ala menyebutkan bahwa Dia akan memberikan  balasan kebaikan bagi orang yang berbuat kebaikan dengan dua balasan:  balasan (kebaikan) di dunia dan balasan (kebaikan) di akhirat.” (Al Waabilush Shayyib, hal. 67, Cet. Darul Kitaabil ‘Arabi)
Oleh karena itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  menggambarkan ibadah shalat, yang dirasakan sangat berat oleh  orang-orang munafik, sebagai sumber kesejukan dan kesenangan hati, dalam  sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Dan Allah menjadikan qurratul ‘ain bagiku pada (waktu aku melaksanakan) shalat.” (HR. Ahmad 3/128, An Nasa’i 7/61 dan imam-imam lainnya, dari Anas bin Malik, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jaami’ish Shagiir, hal. 544)
Makna qurratul ‘ain adalah sesuatu yang menyejukkan dan menyenangkan hati. (Lihat Fatul Qadiir, Asy Syaukaani, 4/129)
Sikap seorang mukmin dalam menghadapi masalah
Dikarenakan seorang mukmin dengan ketakwaannya kepada Allah Ta’ala,  memiliki kebahagiaan yang hakiki dalam hatinya, maka masalah apapun yang  dihadapinya di dunia ini tidak membuatnya mengeluh atau stres, apalagi  berputus asa. Hal ini disebabkan karena keimanannya yang kuat kepada  Allah Ta’ala sehingga membuat dia yakin bahwa apapun ketetapan yang  Allah Ta’ala berlakukan untuk dirinya maka itulah yang terbaik baginya.  Dengan keyakinannya ini Allah Ta’ala akan memberikan balasan kebaikan  baginya berupa ketenangan dan ketabahan dalam jiwanya. Inilah yang  dinyatakan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya,
“Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa (seseorang) kecuali  denga izin Allah; Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya  Dia akan memberi petunjuk ke (dalam) hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui  segala sesuatu.” (Qs At Taghaabun: 11)
Ibnu Katsir mengatakan, “Makna ayat ini: seseorang yang ditimpa  musibah dan dia meyakini bahwa musibah tersebut merupakan ketentuan dan  takdir Allah, sehingga dia bersabar dan mengharapkan (balasan pahala  dari Allah Ta’ala), disertai (perasaan) tunduk berserah diri kepada  ketentuan Allah tersebut, maka Allah akan memberikan petunjuk ke (dalam)  hatinya dan menggantikan musibah dunia yang menimpanya dengan petunjuk  dan keyakinan yang benar dalam hatinya, bahkan bisa jadi Dia akan  menggantikan apa yang hilang darinya dengan yang lebih baik baginya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 8/137)
Inilah sikap seorang mukmin dalam menghadapi musibah yang menimpanya.  Meskipun Allah Ta’ala dengan hikmah-Nya yang maha sempurna telah  menetapkan bahwa musibah  itu akan menimpa semua manusia, baik orang yang beriman maupun orang  kafir, akan tetapi orang yang beriman memiliki keistimewaan yang tidak  dimiliki oleh orang kafir, yaitu ketabahan dan pengharapan pahala dari  Allah Ta’ala dalam mengahadapi musibah tersebut. Tentu saja semua ini  akan semakin meringankan beratnya musibah tersebut bagi seorang mukmin.
Dalam menjelaskan hikmah yang agung ini, Ibnul Qayyim mengatakan,  “Sesungguhnya semua (musibah) yang menimpa orang-orang yang beriman  dalam (menjalankan agama) Allah senantiasa disertai dengan sikap ridha  dan ihtisab (mengharapkan pahala dari-Nya). Kalaupun sikap ridha tidak  mereka miliki maka pegangan mereka adalah sikap sabar dan ihtisab  (mengharapkan pahala dari-Nya). Ini (semua) akan meringankan beratnya  beban musibah tersebut. Karena setiap kali mereka menyaksikan  (mengingat) balasan (kebaikan) tersebut, akan terasa ringan bagi mereka  menghadapi kesusahan dan musibah tersebut. Adapun orang-orang kafir,  maka mereka tidak memiliki sikap ridha dan tidak pula ihtisab  (mengharapkan pahala dari-Nya). Kalaupun mereka bersabar (menahan diri),  maka (tidak lebih) seperti kesabaran hewan-hewan (ketika mengalami  kesusahan). Sungguh Allah telah mengingatkan hal ini dalam firman-Nya,
“Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu).  Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya merekapun menderita  kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap  dari Allah apa yang tidak mereka harapkan.” (Qs An Nisaa’: 104)
Oleh karena itu, orang-orang mukmin maupun kafir sama-sama menderita  kesakitan. Akan tetapi, orang-orang mukmin teristimewakan dengan  pengharapan pahala dan kedekatan dengan Allah Ta’ala.” (Ighaatsatul Lahfan, hal. 421-422, Mawaaridul Amaan)
Hikmah cobaan
Di samping sebab-sebab yang kami sebutkan di atas, ada faktor lain  yang tak kalah pentingnya dalam meringankan semua kesusahan yang dialami  seorang mukmin dalam kehidupan di dunia, yaitu dengan dia merenungkan  dan menghayati hikmah-hikmah agung yang Allah Ta’ala jadikan dalam  setiap ketentuan yang diberlakukan-Nya bagi hamba-hamba-Nya yang beriman  dan bertakwa. Karena dengan merenungkan hikmah-hikmah tersebut dengan  seksama, seorang mukmin akan mengetahui dengan yakin bahwa semua cobaan  yang menimpanya pada hakikatnya adalah justru untuk kebaikan bagi  dirinya, dalam rangka menyempurnakan keimanannya dan semakin mendekatkan  diri-Nya kepada Allah Ta’ala.
Semua ini di samping akan semakin menguatkan kesabarannya, juga akan  membuatnya selalu bersikap husnuzh zhann (berbaik sangka) kepada Allah  Ta’ala dalam semua musibah dan cobaan yang menimpanya. Dengan sikap ini  Allah Ta’ala akan semakin melipatgandakan balasan kebaikan baginya,  karena Allah akan memperlakukan seorang hamba sesuai dengan persangkaan  hamba tersebut kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam sebuah hadits  qudsi:
“Aku (akan memperlakukan hamba-Ku) sesuai dengan persangkaannya kepadaku.” (HSR al-Bukhari no. 7066 dan Muslim no. 2675)
Makna hadits ini: Allah akan memperlakukan seorang hamba sesuai  dengan persangkaan hamba tersebut kepada-Nya, dan Dia akan berbuat pada  hamba-Nya sesuai dengan harapan baik atau buruk dari hamba tersebut,  maka hendaknya hamba tersebut selalu menjadikan baik persangkaan dan  harapannya kepada Allah Ta’ala. (Lihat kitab Faidhul Qadiir, 2/312 dan Tuhfatul Ahwadzi, 7/53)
Di antara hikmah-hikmah yang agung tersebut adalah:
[Pertama]
Allah Ta’ala menjadikan musibah dan cobaan tersebut sebagai obat  pembersih untuk mengeluarkan semua kotoran dan penyakit hati yang ada  pada hamba-Nya, yang kalau seandainya kotoran dan penyakit tersebut  tidak dibersihkan maka dia akan celaka (karena dosa-dosanya), atau  minimal berkurang pahala dan derajatnya di sisi Allah Ta’ala. Oleh  karena itu, musibah dan cobaanlah yang membersihkan penyakit-penyakit  itu, sehingga hamba tersebut akan meraih pahala yang sempurna dan  kedudukan yang tinggi di sisi Allah Ta’ala (Lihat keterangan Ibnul  Qayyim dalam Ighaatsatul Lahfan hal. 422, Mawaaridul Amaan). Inilah makna sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Orang yang paling banyak mendapatkan ujian/cobaan (di jalan  Allah Ta’ala) adalah para Nabi, kemudian orang-orang yang (kedudukannya)  setelah mereka (dalam keimanan) dan orang-orang yang (kedudukannya)  setelah mereka (dalam keimanan), (setiap) orang akan diuji sesuai dengan  (kuat/lemahnya) agama (iman)nya, kalau agamanya kuat maka ujiannya pun  akan (makin) besar, kalau agamanya lemah maka dia akan diuji sesuai  dengan (kelemahan) agamanya, dan akan terus-menerus ujian itu (Allah  Ta’ala) timpakan kepada seorang hamba sampai (akhirnya) hamba tersebut  berjalan di muka bumi dalam keadaan tidak punya dosa (sedikitpun)”  (HR At Tirmidzi no. 2398, Ibnu Majah no. 4023, Ibnu Hibban 7/160, Al  Hakim 1/99 dan lain-lain, dishahihkan oleh At Tirmidzi, Ibnu Hibban, Al  Hakim, Adz Dzahabi dan Syaikh Al Albani dalam Silsilatul Ahaadits Ash Shahihah, no. 143)
[Kedua]
Allah Ta’ala menjadikan musibah dan cobaan tersebut sebagai sebab  untuk menyempurnakan penghambaan diri dan ketundukan seorang mukmin  kepada-Nya, karena Allah Ta’ala mencintai hamba-Nya yang selalu taat  beribadah kepada-Nya dalam semua keadaan, susah maupun senang (Lihat  keterangan Ibnul Qayyim dalam Ighaatsatul Lahfan, hal. 424, Mawaaridul amaan) Inilah makna sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Alangkah  mengagumkan keadaan seorang mukmin, karena semua keadaannya (membawa)  kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya ada pada seorang mukmin; jika  dia mendapatkan kesenangan dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan  baginya, dan jika dia ditimpa kesusahan dia akan bersabar, maka itu  adalah kebaikan baginya.” (HSR Muslim no. 2999)
[Ketiga]
Allah Ta’ala menjadikan musibah dan cobaan di dunia sebagai sebab  untuk menyempurnakan keimanan seorang hamba terhadap kenikmatan sempurna  yang Allah Ta’ala sediakan bagi hamba-Nya yang bertakwa di surga kelak.  Inilah keistimewaan surga yang menjadikannya sangat jauh berbeda dengan  keadaan dunia, karena Allah menjadikan surga-Nya sebagai negeri yang  penuh kenikmatan yang kekal abadi, serta tidak ada kesusahan dan  penderitaan padanya selamanya. Sehingga kalau seandainya seorang hamba  terus-menerus merasakan kesenangan di dunia, maka tidak ada artinya  keistimewaan surga tersebut, dan dikhawatirkan hamba tersebut hatinya  akan terikat kepada dunia, sehingga lupa untuk mempersiapkan diri  menghadapi kehidupan yang kekal abadi di akhirat nanti (Lihat keterangan  Ibnul Qayyim dalam Ighaatsatul Lahfan, hal. 423, Mawaaridul Amaan dan Ibnu Rajab dalam Jaami’ul ‘Uluumi wal Hikam, hal. 461, Cet. Dar Ibni Hazm). Inilah di antara makna yang diisyaratkan dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Jadilah kamu di dunia seperti orang asing atau orang yang sedang melakukan perjalanan.” (HSR Al Bukhari no. 6053)
Penutup
Sebagai penutup, kami akan membawakan sebuah kisah yang disampaikan  oleh Ibnul Qayyim tentang gambaran kehidupan guru beliau, Imam Ahlus  Sunnah wal Jama’ah di zamannya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –semoga  Allah merahmatinya–. Kisah ini memberikan pelajaran berharga kepada kita  tentang bagaimana seharusnya seorang mukmin menghadapi cobaan dan  kesusahan yang Allah Ta’ala takdirkan bagi dirinya.
Ibnul Qayyim bercerita, “Allah Ta’ala yang Maha Mengetahui bahwa aku  tidak pernah melihat seorang pun yang lebih bahagia hidupnya daripada  gurunya, Ibnu Taimiyyah. Padahal kondisi kehidupan beliau sangat susah,  jauh dari kemewahan dan kesenangan duniawi, bahkan sangat  memprihatinkan. Ditambah lagi dengan (siksaan dan penderitaan yang  beliau alami di jalan Allah Ta’ala), yang berupa (siksaan dalam)  penjara, ancaman dan penindasan (dari musuh-musuh beliau). Tapi  bersamaan dengan itu semua, aku mendapati beliau adalah termasuk orang  yang paling bahagia hidupnya, paling lapang dadanya, paling tegar  hatinya serta paling tenang jiwanya. Terpancar pada wajah beliau sinar  keindahan dan kenikmatan hidup (yang beliau rasakan). Kami (murid-murid  Ibnu Taimiyyah), jika kami ditimpa perasaan takut yang berlebihan, atau  timbul (dalam diri kami) prasangka-prasangka buruk, atau (ketika kami  merasakan) kesempitan hidup, kami (segera) mendatangi beliau (untuk  meminta nasehat), maka dengan hanya memandang (wajah) beliau dan  mendengarkan ucapan (nasehat) beliau, serta merta hilang semua  kegundahan yang kami rasakan dan berganti dengan perasaan lapang, tegar,  yakin dan tenang.” (Al Waabilush Shayyib, hal. 67, Cet. Darul Kitaabil ‘Arabi)
Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 15 Rabi’ul awwal 1430 H
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
 



 
 
0 comments:
Posting Komentar